Dekonstruksi Kebudayaan Dari Masa ke Masa - Suara Marhaen
Headlines News :
Home » » Dekonstruksi Kebudayaan Dari Masa ke Masa

Dekonstruksi Kebudayaan Dari Masa ke Masa

Written By Unknown on Saturday, April 13, 2013 | 12:18 AM

suaramarhaen.com. Arus teknologi informasi sebagai gerbang masuknya hegemoni asing pada jaman modern. Walaupun kita ketahui bersama bahwa keberadaan budaya asing sudah sejak berabad-abad yang lalu masuk. Pertama dari masuknya budaya-budaya India (Hindu-budha) ke Indonesia. Transformasi kebudayaan ini menghasilkan sintesa dari kebudayaan primitif di Nusantara sehingga membentuk anak kebudayaan baru. Kedua masuknya Islam beserta kebudayaannya melalui pesisir utara Jawa2. Dari proses kedua sintesa antara kedua Pengaruh Agama dan kebudayaan (Islam-Hindu) tersebut mengalami proses kristalisasi menjadi sosok kebudayaan baru, Hindu-Jawa-Islam menjadi kebudayaan yang lebih mapan pada masa perkembangannya, sebelum masuknya bangsa-bangsa Eropa.
Ketiga ada masa kolonialime bangsa-bangsa Eropa (Portugis-Inggris-Belanda) dalam kurun waktu yang panjang, menyebabkan terjadinya dekonstruksi yang agresif terhadap kebudayaan Indonesia yang mapan tersebut. Pada masa itu tercipta kondisi “terbelalak” akibat tidak mampunya budaya Jawa-Islam melakukan dialog budaya dengan kebudayaan Belanda yang rasional, ekspansif dan rakus3. Kebudayaan nusantara-Indonesia yang sudah terbentuk melalui kebudayaan Hindu-Jawa-Islam lebih mengedepankan nilai rasa sebagai karakter utama. Namun kebudayaan kolonial cenderung memiliki karakter yang pragmatis dan rasional.

Berabad-abad kebudayaan Hindu-Jawa-Islam berada dalam posisi “inferior” sedangkan kebudayaan barat dalam posisi “superior”. Hegemoni kebudayaan barat menyebabkan terjadinya pergeseran karakter kebudayaan nusantara. Transformasi dari hegemoni itulah yang kemudian diwariskan sampai hari ini. Meskipun pada masa perjuangan kemerdekaan telah dicoba untuk mengembalikan nilai dan kebudayaan murni nusantara, namun traumatik sisa-sisa penjajahan 3 generasi itu masih tersisa. Hingga memasuki masa modern akibat terbukanya pendidikan bagi kaum pribumi yang dimulai pada masa penjajahan, kebudayaan barat tetap melekat di dalam masyarakat pribumi.
Bangsa Indonesia telah terbawa arus mainstream yang diciptakan oleh bangsa barat. Pada jaman modern, penguasaan wilayah yang digunakan sebagai metode untuk menunjukan kekuatan sebuah bangsa mulai dihilangkan dan diganti dengan penjajahan lewat hegemoni kebudayaan. Hal ini dilakukan dengan cara membuat produk-produk budaya, mulai dari musik, mode pakaian, teknologi, hingga makanan. Gaya pakaian yang menghiasi tubuh generasi muda kita lebih banyak meniru barat. Corak musik, bahkan yang paling sederhana adalah model makanan juga meniru gaya barat. Model makanan cepat saji saat ini telah menjamur di negeri ini. Demikian halnya dengan minuman, rokok, dan lain sebagainya.
Budaya hedonis, materialis dan konsumtif telah menjadikan kita diperbudak oleh negara lain. Sikap atau paham inilah yang menjadikan hidup kita bersikap boros. Generasi kita lebih banyak menghabiskan uang untuk hal-hal yang bersifat konsumtif atau kebutuhan sekunder. Dengan demikian, barang-barang yang dimiliki bukan atas pertimbangan nilai guna, tetapi nilai prestis atau kebanggaan semata4. Dari hal yang kecil inilah menjadi indikator bahwa cita-cita lurur dan konsepsi bernegara telah dilupakan sama sekali oleh Generasi muda.
Tri Sakti sebagai buah Pemikiran Founding Father Bung Karno tidak mampu diimplementasikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Berdaulat secara Politik, Berdikari secara Ekonomi dan Berkepribadian Budaya kini tak mampu lagi membendung derasnya arus mainstream hegemoni barat.
Berbagai ilmu pengetahuan diciptakan sebagai alat pembenar bagi perkembangan budaya. Teknologi serta kemudahannya menjadi iming-iming “surga” bagi seluruh lapisan masyarakat, hingga akhirnya bangsa Indonesia berkiblat pada hegemoni ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) ala barat. dengan berkembangnya ilmu pengetahuan ala barat menyebabkan terkikisnya ajaran-ajaran lokal itu sendiri. Asas logika dan rasionalitas menjadi tumpuan keberadaban manusia. Tidak salah namun dengan mengkesampingnya nilai rasa dan moralitas maka peradaban akan menjadi liar dan tidak terarah. Bak hidup di hutan, semua orang bisa melakukan apa saja dengan kekuatan yang dimikinya. Masa inilah kejayaan neo-liberalisme mencapai puncaknya. Mengedepankan asas Individualisme, kebebasan manusia, dominasi kekuatan ekonomi pasar sehingga peran negara dan pemerintahan sangat terbatas. Semua diserahkan kepada mekanisme pasar dan manusia yang bebas. Begitu melekatnya paham dan ajaran gaya barat (Eropa dan Amerika) yang sengaja dihembuskan untuk melanggengkan proyek Impreialisme baru.
Ilmu pengetahuan digiring untuk melegitimasi pandangan kaum Imperialis. Mereka beranggapan bahwa ajaran atau budaya yang ditawarkan akan membawa kemajuan bagi setiap bangsa, seperti kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa-bangsa barat seperti Eropa dan Amerika yang telah mengalami kemajuan pesat.
Masih ingatkah kita dengan Marhaenisme, ajaran Bung karno yang menentang adanya Kolonialisme, Liberalisme dan neo-Feodalisme? Ajaran itu mestinya menjadi asas perjuangan bangsa untuk melepaskan diri dari belenggu imprealisme barat. Bersatu dalam bingkai nasionalisme. Negara-negara berkembang yang menganut faham neo-liberisme yang memfokuskan dirinya pada pasar bebas dan perdagangan bebas, merobohkan benteng-benteng idiologi negara.
Kita tahu bahwa perdangan selain sebagai perputaran ekonomi (uang dan Materi) juga merupakan agen pertukaran kebudayaan. Maka dengan itu akan semakin memudahkan hegemoni bangsa barat untuk mendekontruksi kebudayaan secara sistematis. Produk-produk perdangan merupakan hasil dari rasa, cipta dan karsa manusia, yang didalamnya terkandung muatan idiologi. Hari ini pun bangsa Indonesia sangat tergantung dengan produk-produk yang ditawarkan asing, karena kegagalan mewujudkan ajaran Berdikari (berdiri diatas kaki sendiri) secara ekonomi. Berbeda halnya dengan China, Jepang dan Korea Utara yang mampu memproteksi sedemikian kuatnya kemudayaan mereka, sehingga mampu meminimalkan kontaminasi sing, negara dan masyarakatnya pun menjadi kuat dan tangguh.
Kita diajari bahwa satu-satunya sistem sosial yang ada adalah sistem barat, satu-satunya sistem ekonomi dan politik yang benar adalah sistem yang dianut barat. Kita diajarkan bahwa hak-hak manusia pertama kali diakui dalam revolusi Perancis, bahwa demokrasi didorong dan dipopulerkan oleh orang Inggris, dan bahwa kekaisaran romawi yang menyediakan dasar peradaban5. Sehingga kita terbuai dan melupakan puncak-puncak keberadaban bangsa sendiri.
Oleh : I Putu Hery Indrawan (redaksi)
Share this article :

0 comments :

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Suara Marhaen - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger