Awas…!!!, Ada Marhaen Palsu di Bali - Suara Marhaen
Headlines News :
Home » , » Awas…!!!, Ada Marhaen Palsu di Bali

Awas…!!!, Ada Marhaen Palsu di Bali

Written By Unknown on Thursday, April 18, 2013 | 11:28 PM

Opini dari : Anton Miharjo
Di politik.kompasiana.com/tanggal 18 April 2013

Ha..ha…ha..ha..ha, sangat lucu membaca Tabloid “Suara Marhaen” (edisi 18 April 2013) yang untuk pertama kalinya hadir menjelang Pemilihan Gubernur Bali.
Dari sisi isi pemberitaan tabloid Suara Marhaen, nampak jelas dan nyata serta tak perlu dianalisis lagi bahwa media ini sengaja diterbitkan oleh tim Pastika (Calon Gubernur No 2) untuk menggelabui masyarakat Bali bahwa Pastika masih seorang Marhaen. Pertanyaanya pantaskah Pastika mengaku seorang Marhaen…?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya saya menjelaskan sekilas tentang Marhaen.  Kata Marhaen untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh Soekarno, tokoh sentral PNI dan bapak Mbak Mega ketua umum PDIP.
Kata Marhaen merujuk pada Bung Karno. Penuturan sejarah menyebutkan, Bung Karno-lah yang menemukan perkataan ini pertama kali. Dia pula yang paling berkontribusi mengangkat istilah ini masuk dalam gelanggang politik.
Dalam buku otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Bung Karno mengatakan, ia menemukan istilah marhaen pada usia 20 tahun. Artinya, itu terjadi kira-kira tahun 1921.
Saat itu, Bung Karno tinggal di kota Bandung. Nah, ia sedang jalan-jalan ke bagian selatan kota nan cantik itu. Nah, sesuai penuturan Bung Karno, Bandung selatan itu dikenal sebagai kawasan pertanian. Tiap-tiap petani mengerjakan sawahnya sendiri. Luasnya tidak melebihi dari sepertiga hektar.
Tetapi istilah itu tidak sempit merujuk ke petani saja. Masih di buku yang sama, Bung Karno juga menyebut “tukang gerobak” sebagai marhaen. Sebab, si tukang gerobak punya alat produksi, tetapi tidak menyewa pembantu (tenaga kerja) dan tidak punya majikan. Inilah dasar dari penemuan ajaran Bung Karno: Marhaenisme. Ia mengatakan, marhaenisme merupakan lambang dari penemuan kembali kepribadian nasional bangsa Indonesia. Atau, istilah lainnya, teori yang disusun sesuai konteks historis dan kekhususan masyarakat Indonesia.
Dari Aspek historis ini nampak jelas dan nyata bahwa Pastika tak layak disebut sebagai Marhaen apalagi menerbitkan atau membiayai penerbitan Majalah Marhaen. Karena secara biologis dan idiologis Mangku Pastika tidak mewarisinya.
Apalagi melihat pola dan konsep pembangunan yang dijalankan Pastika, sungguh dan sangat  bertentangan dengan prinsip-prinsip dari Idiologi dan semangat Bung Karno. Inilah yang disebut dengan “politik Nyaru” ala Pastika, setelah sebelumnya mengaburkan identitasnya dan mengunakan spanduk, baliho dan surat suara yang identik warna Merah, warna kramat PDIP
Sebagai pribadi, saya menyarankan kepada bapak Mangku Pastika untuk berpolitik lebih transparan dan menjelaskan kepublik bahwa saat ini dirinya mengunakan partai Golkar cs sebagai kendaraan politiknya. Karena dengan cara seperti itu, sang petahana akan lebih kelihatan elegan. Bilapun kalah, akan merasa lebih terhormat. Dan pada saat bersamaan partai yang mengusungnya pun tidak merasa di sepelekan.
Kepada penanggungjawab tabolid “Suara Marhaen” ada baiknya belajar  lagi tentang marhaen, karena kader marhaen sejati sesungguhnya tidak akan pernah pindah partai dalam kondisi bagaimanapun, ia tetap harus menjadi kader PDIP sebagai partai yang berhak mewarisi idiologi Marhaen dan menjalankan ajaran Bung Karno.
Dan kepada warga PDIP di Bali yang selau setia dengan Bung Karno, supaya lebih waspada dan bisa membedakan mana Marhaen palsu dan Marhaen sejati.
Warung Badega, Denpasar
18 April 2013
Share this article :

0 comments :

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Suara Marhaen - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger